30 Juli 2011

Bahkan Umar bin Khattab Pun Punya Masa Lalu...

Kaget. Sikap wajar saat mendengar pernyataan Ketua DPR, Marzuki Ali. Setelah tentang “Bencana Nias”, kali ini beliau ‘berulah’ lagi untuk kesekian kalinya. Meluncur ucapan yang seolah mencederai rasa keadilan rakyat banyak. Di tengah kegetiran melihat kemiskinan, pengangguran merajalela, angka putus sekolah—yang secara tidak langsung diakibatkan oleh menguapnya anggaran pembangunan. Sang Ketua malah melontarkan usul yang berseberangan dengan sikap masyarakat banyak. Benarkah demikian?

“Seluruh koruptor dipanggil pulang suruh bawa uangnya masuk, kenakan pajak. Kita saling memaafkan seluruh Indonesia, memaafkan koruptor, semuanya dimaafkan. Tuhan saja memaafkan semua manusia.” Demikian usulan kontroversial Marzuki. Sebuah pernyataan aneh, tapi hati membesar membaca lanjutannya… “Tapi tidak boleh mengulangi lagi, kalau diulangi, dihukum mati! Nah, poinnya mulai berbinar. Semakin terang ketika saya menyaksikan penjelasannya kemarin, di TV One. Dan semakin jelas, saat tokoh reformasi Amien Rais dan Hasyim Muzadi memaparkan pandangannya dalam sebuah acara dialog di TV. Kesimpulannya, di negara mana pun di dunia ini: korupsi tidak bisa dituntaskan dengan cara-cara biasa!

Ya, ide serupa pernah saya lontarkan, meski tentu tak bergaung sekuat sang Ketua Dewan. Ide liar yang tumbuh dari kerisauan. Dari kacamata lokal. Dari rakyat biasa. Saya tergelitik melihat pemberantasan korupsi yang gemuruh meriah tapi tak kemana-mana. Mirip barisan yang teratur dalam satu komando: Jalan di tempaaat, grak!

… bahwa bingkai punishment itu harus didahului dengan
zero condition. Ini sebenarnya telah dimulai KPK, dengan tidak adanya pengungkapan perkara yang berlaku surut. Saya rasa inilah yang harus dimulai Presiden SBY. Menggodok formulasi rekonsiliasi. Artinya, kegagalan masa lalu yang selalu membayangi dan membebani bangsa ini harus diakhiri dengan melakukan rekonsiliasi. Memaafkan, kemudian memetakan bagaimana menginventarisasi harta-harta yang dapat dikembalikan ke negara. Mungkin nominal uang negara yang dapat kembali mencapai ratusan trilyunan. Ujian bagi Presiden SBY, akankah mampu bersikap tidak populis dalam mengambil keputusan seperti ini. Setelah kondisi ideal ini tercapai, punishment harus dijalankan setegas-tegasnya. (Korupsi Itu, Desember 2007).

Demikian tulisan saya di blog, tahun 2007 lalu. Buah pikir yang terlontar nakal. Dan sampai sekarang, sikap saya tak berubah: Maafkan koruptor! Memang sulit. Sangat sulit, terlebih bagi kita yang menjadi korban (atau hidup?) dari koruptor.

Saya melihat begitu rapinya jamaah koruptor. Kadang, sadar atau tidak, saya menjadi makmumnya. Korupsi dilakukan secara sistematis. Semua terlibat, semua merasakan manfaat. Hujan merata di seluruh lini. Hampir tidak ada sedikitpun yang tak kecipratan. Dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Bahkan cipratannya kadang kena juga pada dua elemen yang masih kita percaya: jurnalis dan LSM.

Kalau si A melakukan korupsi besar sulit diselesaikan secara hukum, karena si A sudah menyandera si B sebagai orang yang menegakkan hukum. Karena si B telah disuap juga. Ketika si B mau menyuruh si C, hal tersebut juga tidak bisa karena si C juga telah disuap. Sehingga hampir tidak ada saat sekarang kekuatan yang dapat menggunting ini,” demikian analisa ketua MK, Mahfud MD tentang korupsi dalam sebuah kesempatan. Saya mengamininya.

Melihat kondisi demikian, kita tak boleh lelah. Kita tak ingin menjadi salah satu dari negara gagal. Korupsi harus segera diberantas dikurangi. Memaafkan koruptor berarti memutus mata rantai dengan masa lalu. Kita jangan menghabiskan energi dengan melihat 'spion' yang kadang menyebabkan kendaraan bangsa tidak maju-maju. Koruptor yang bersalah di masa rezim bobrok, tidaklah adil bila dihukum saat hukum memiliki wibawa kelak. Formulasinya bisa digodok bersama. Tetapkan limit yang jelas. Dan beri ruang pada Presiden SBY untuk mengambil langkah strategis dan, berani!

Allah, Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim saja memaafkan hambanya. Sekeji apa pun dosanya. Sebesar apa pun ma'siatnya. Apakah kita tidak bisa? Memang, memaafkan tidak menjamin koruptor itu akan menjadi semulia Umar bin Khattab. Tapi saya yakin, mereka tidaklah sepandir keledai yang mau masuk ke lubang yang sama dua kali.

Seiring memaafkan koruptor, godok UU Pembuktian Terbalik, bersihkan “sapu” kotor, rancang hukuman setimpal bagi koruptor berhati keledai. Kita dorong secara berjamaah pula. Dan sekali lagi, bahkan Umar bin Khattab pun punya masa lalu, tapi hanya keledai yang masuk ke lubang yang sama dua kali.

Akhirnya, menyambut bulan suci Ramadhan, mudah-mudahan kita bisa jernih saat menerima masukan apa pun, demi negeri ini. Kita tentu tak ingin negeri ini berhenti…

image

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda.