18 Oktober 2012

PLN: Habis Gelap Terbitlah Harapan

“10 Bayi Meninggal Akibat Listrik Padam”, demikianlah judul berita yang cukup menyentak saya saat memulai tulisan ini. Sebagaimana diberitakan, listrik di rumah sakit pemerintah tersebut mendadak padam. Pihak rumah sakit berusaha sekuat tenaga menghidupkan listrik kembali dengan menggunakan generator. Namun, generatornya rusak. Mautpun menjemput sepuluh bayi tak berdosa tersebut.

Meski kejadiannya di Pakistan akhir bulan September lalu, namun empati tentu menjalar di relung hati. Tentu peristiwa ini bisa dijadikan pelajaran (dan peringatan) karena bisa dialami oleh siapapun dan di manapun. Tak terkecuali bagi kita, di Indonesia, yang sistem kelistrikannya belum bisa dikatakan baik.

Di Pontianak, sekitar tiga tahun silam, pemadaman bergilir terasa absurd karena aliran listrik nyaris padam secara serentak. Satu kota mendadak gelap berbulan-bulan lamanya. Peristiwa tersebut begitu berkesan, karena pemadaman itu tak lama kala saya membuka warnet.

Dengan pemadaman bergilir tersebut, dampaknya tentu cukup berarti bagi pelaku usaha, tidak hanya saya saja. Dag-dig-dug rasanya bila listrik mulai berulah. Selain pelanggan kabur, juga akan merusak perangkat komputer. Terbukti tak lama kemudian, satu persatu komputer berguguran. Meski perangkatnya bergaransi, tak ayal saya acap kerepotan membawanya ke tukang servis.

Di tahun-tahun pertama berbisnis, di tengah perbaikan resource PLN, saya sungguh merasakan kerugian akibat pemadaman bergilir tersebut. Saya jadi bisa membayangkan betapa besarnya kerugian yang menimpa industri besar dengan ribuan tenaga kerja bila putusnya pasokan dari perusahaan yang mengemban amanah mengelola listrik di negara ini: Perusahaan Listrik Negara. Tidak cukup layar kalkulator untuk menghitungnya.

Dari dua kejadian tersebut, tergambar betapa pentingnya peran listrik dalam kehidupan sehari-hari.  Tak berlebihan bila saya berani mengatakan bahwa listrik sudah menjadi salah satu kebutuhan primer bagi kita—bersanding dengan sandang, pangan dan papan.

Sistem Dibangun, Mental Dibenahi
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perilaku koruptif lekat dengan oknum PLN. Dari penyambungan listrik, penambahan daya, hingga pengadaan barang dan jasa. Semua dibuat ‘gelap’, berbelit dan tertutup. Dibutuhkan 'pelicin' untuk memperlancar semuanya. Meski tahu dan sadar, tapi sekian lama kita abai mengkritisinya.


Dulu, seringkali saya menyaksikan pegawai PLN yang gaya hidupnya tidak sebanding dengan penghasilannya. Dulu, seringkali saya mendengar bahwa pengadaan barang dan jasa hanya bisa dimasuki segelintir orang. Dulu, seringkali saya melihat, pencurian listrik yang justru dilakukan oknum PLN. Itu dulu. Sekarang?

Perlahan, tepatnya sejak di bawah komando Dahlan Iskan, PLN berusaha berbenah. Transparansi dan akuntabilitas dijunjung tinggi. Budaya “menunggu bola” menyurut, berganti budaya kerja, kerja dan kerja!

Meski masih jauh dari sempurna, tapi saya mengakui kinerja PLN sudah bisa dirasakan masyarakat. Saya berani menjadi contohnya. Baru-baru ini, saya mengajukan pemasangan baru. Tak memakan lama untuk persetujuannya. Sekarang memasuki tahap instalasi. Biaya yang saya keluarkan juga sama dengan yang diumumkan. Saya berharap, siapa pun dan di manapun dapat perlakuan serupa.

Melalui berbagai pemberitaan, saya juga mengetahui bahwa di tangan Nur Pamudji, Direktur Utama pengganti Dahlan Iskan, PLN terus memperbaiki dan menyempurnakan sistem dengan menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG). Kini, PLN fokus melawan korupsi di dua sektor yang paling rawan: pengadaan barang dan jasa serta pelayanan pelanggan. Untuk mengawasi pengadaan barang dan jasa, PLN menggandeng Transparancy International Indonesia (TII); sedangkan untuk pelayanan pelanggan, PLN bekerjasama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Tentu tidak hanya sistem yang perlu dibenahi, SDM juga tidak kalah penting. Bila seluruh stakeholder memahami bahwa profesi mereka teramat mulia—melayani nyaris seluruh aktivitas kehidupan manusia, tentu tak mudah bagi mereka untuk berperilaku korup dan tidak profesional. Ini masalah mental. Pegawai PLN harus mampu melihat “gambar besar” manfaat kehadiran listrik bagi kehidupan: buruh pabrik asyik bekerja; operasional bandara aman terkendali; akses internet sekolah berjalan baik; jalan umum terang benderang; peralatan medis berfungsi normal; hingga lancarnya aktivitas rumah tangga sehari-hari. Tanpa listrik, seluruh aktivitas tersebut bakal macet.

Sikap mental positif ini dapat dibentuk selain melalui training rutin, juga dengan membuka ruang reward and punishment bagi pegawai. Muaranya, mental melayani dapat tumbuh dengan ditunjang kultur perusahaan yang positif. Betapa indahnya, bila kesadaran personal dapat menjadi kesadaran kolektif.

Harapan Saya adalah Harapan Kita Semua
"Ini kalau bisa mulai 1 Januari, disesuaikan 3%-4% per kuartal, maka akan ada tambahan Rp 11 triliun-Rp 12 triliun." Demikian wawancara Detik dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo terkait keseriusan pemerintah menjalankan rencana kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) pada tahun 2013 mendatang.

Saya berharap, dengan kenaikan tarif tersebut dapat mengurangi, bahkan bila mungkin meniadakan, pemadaman bergilir dan distribusi listrik yang tidak merata antara Jawa-Luar Jawa. Sulit diterima akal sehat, bila lonjakan tarif tidak diikuti kualitas layanan.

Tak kalah pentingnya, upaya pemerataan listrik seyogyanya melibatkan publik di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui, dari 243 juta penduduk Indonesia, sebanyak 100 juta orang belum mendapat akses untuk menikmati aliran listrik. Sangat naif bila PR besar ini hanya dikerjakan PLN sendiri. Ada sebuah nama yang telah memberi solusi nyata terhadap persoalan tersebut: Tri Mumpuni. Gebrakan solutif Tri Mumpuni, dengan pembangkit listrik mikrohidronya, dapat diduplikasi pada daerah-daerah lain yang belum tersentuh aliran listrik. PLN bisa menjadikannya sebagai role model.

Sebagai wirausahawan, saya juga berharap PLN dapat mengucurkan dana Corporate Social Responsibility-nya kepada pelaku UKM yang merasakan ekses langsung dari pemadaman listrik. Meski skala kecil, namun terbukti UKM-lah yang anti krisis ekonomi global. Untuk di Pontianak, jujur saya tidak mengetahui apakah selama ini CSR dari PLN sudah diserap oleh pengusaha lokal. Saya belum melihat adanya publikasi di media lokal.

Harapan pamungkas, ke depan hendaknya seluruh proses bisnis PLN terkait pengadaan barang dan  jasa dapat diakses publik melalui situs, media massa atau media sosial. Tak bisa dipungkiri, kebocoran terbesar yang tidak diketahui publik justru di sektor ini. Hal ini tidak semata demi pengawasan dan upaya mewujudkan good corporate governance, tapi juga guna tumbuhnya rasa memiliki publik kepada badan usaha yang 'dimilikinya' (baca: BUMN).

Kelak, sungguh indah bila PLN mampu menjadi perusahaan yang dicinta dan dibanggakan seluruh rakyat Indonesia. Saya yakin, ini bukan harapan kosong asalkan PLN mau bekerja keras mewujudkannya. Habis gelap terbitlah harapan. Semoga!

1 Please Share a Your Opinion.:

  1. thanks for information checkout my blog at
    httpL://www.definingwords.blogspot.com
    feel free to leave comment

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar anda.