14 Januari 2014

Banjir Jakarta, Jokowi dan Kita

Menggemuruhnya berita banjir di Jakarta, sebenarnya hal sepele bagi masyarakat di luar Jakarta. Tak sekedar banjir, jalan bak bubur pun mereka "ikhlas". Tanpa liputan media (dan secuil campur tangan pemerintah), rakyat bisa menyelesaikan dengan diam.


Dan pemerintah selalu salah, kata rakyat; Rakyat tidak taat aturan, kata pemerintah.

Memang pada akhirnya mudah bila menimpakan semua kesalahan di sana. Mereka salah, kita benar. Demikianlah banjir.

Di era demokrasi ini, (maaf) setan pun bisa menjadi pemimpin, bila kita mengijinkan—dengan memilihnya. Demokrasi, melahirkan pemimpin yang kita amini dengan mencoblosnya. Pemimpin merupakan representasi yang dipimpin. Satu koin dengan dua sisi.

Jadi siapa yang salah? Ah sudahlah.

Fenomena Jokowi seharusnya sebaiknya mengingatkan kita tak ada perubahan yang instan dan, setiap perubahan itu sejatinya kita berontribusi, sekecil apapun, di dalamnya. Tak ada tempat cuci tangan dan tak ada waktu berpangku tangan.


Hanya bicara saja tak dapat membuat nasi matang. (Pepatah China)

Di tahun politik, 2014 ini, Jokowi menggelinding cepat beriringan dengan nama Risma, Ganjar, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Ridwan Kamil, dan Prabowo. Maaf, untuk nama yang terakhir saya sebenarnya kurang tertarik menulisnya. Biarlah mereka berkompetisi dan naik panggung istana kelak. Nama lama sebaiknya sudahi aroma.

Dengan atau tanpa dukungan media, setidaknya mereka telah muncul dan rakyat, kita-kita ini, janganlah (pura-pura setengah hati) memilihnya dan lalu bergotong royong menyalahkannya. Beri waktu mereka membangun sistem terbaik bagi kesejahteraan negeri. Terserah apapun namanya. Bahkan dengan meninggalkan demokrasi, bila penuh kepalsuan. Kita support di dalamnya. 

Dan saya selalu senang menuliskan tentang tanggung jawab bersama, bukan hanya pada seorang, entah Jokowi namanya. Tapi ini semua tentang KITA. Hingga, banjir Jakarta bukanlah sebuah berita, apalagi panggung cari muka.

Tabik.

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda.