28 April 2015

Cara Menjaga Semangat Menulis

koleksi buku, bahan menulis

Dari judulnya semoga anda bisa mengerti bahwa tulisan ini bukanlah untuk siapa-siapa. Tulisan reflektif untuk saya. Sungguh tak mudah menulis tema ini. Tulisan ini sejatinya adalah untuk menjaga semangat menulis di blog ini. Ya, demi menjaga riwayat perblog-an saya.

Tulisan lain yang mungkin menarik: Ngeblog dengan Ikhlas, Seikhlas Jaman 80s & 90s

Sebenarnya kita tak butuh motivasi macam-macam untuk tetap menulis. Itu adalah sunnatullah. Setiap asupan lewat panca indera pasti butuh dikeluarkan, bisa berbentuk verbal atau pun tulisan. Kalaulah diperlukan motivasi tambahan untuk tetap dan terus menulis, saya akan mencoba menguaknya.

Dengan menulis, niscaya hati dan pikiran anda tidak mudah ‘masuk angin’. Bahkan, ada teman saya dengan mantopnya mengangkat terapi penyakit dengan menulis. Karena bagaimana pun, dengan menulis itu sendiri anda telah melepaskan energi yang mungkin menjadi “angin” bagi pikiran dan hati. Wooow, menulis itu menyehatkan!
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. ― Pramoedya Ananta Toer
Untuk alasan yang lebih bijak, menulis itu sarana menuju keabadian. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan tulisan. Umur paling banter 60-70an, tapi tulisan mengabadi. Terlebih di era internet, tak mudah menghapus jejak anda di mata Google dengan cache-nya. Kalau pun tak terlacak, yakinlah itu hanya sementara. Mungkin Speedy (baca: koneksi internet) anda sedang gangguan.

Berikutnya, alasan yang paling seksi dan kerap diumbar di seminar dan pelatihan penulisan: Menulis itu menghasilkan uang. Benarkah? Seperti biasa, nama-nama yang dicontohkan sebagai selebriti yang telah menjadi milyuner dalam penulisan tak lain Raditya Dika, Habiburrahman El Shirazy dan Andrea Hirata. Ratusan ribu eksemplar buku-buku mereka telah naik cetak, milyaran rupiah membanjiri rekening bank. Agar lebih mengagetkan, milyaran rupiah itu dihasilkan tak lebih dari 10-20 % dari total angka penjualan buku. Itu jatah penulis, selebihnya untuk penerbit, marketing dan distributor. Pengalaman saya saat menerbitkan buku, ongkos distribusi buku saja menyedot 40-60 % dari nilai jual buku.

Baca juga: http://yaserace.blogspot.com/2012/10/mungkinkah-kaya-raya-dari-blog.html

Seperti di jalur musik, di dunia buku juga terkenal indie publishing. Jalur penerbitan yang tidak mengandalkan penerbit besar yang sadar pasar. Idealisme dapat mengalir dan pundi-pundi penulis—yang kadang merangkap sebagai investor, editor, illustrator, distributor—dapat lebih gemukan karena tidak banyak faktor pembaginya.

Tapi tentu penulis tak kehabisan akal. Meski nginap di label besar, mereka masih bisa mencari tambahan. Lagi-lagi layaknya musisi, mereka juga bisa ‘ngamen’ lewat seminar-seminar penulisan, training sambil traveling, menjadi ghost writer, dll. Kalau beruntung, buku best seller mereka bisa naik kelas ke layar lebar.

Belum lagi, ada peluang besar berbisnis buku digital lewat amazon. Nah, ini insya Allah jadi target saya berikutnya. Wait and see...  

Terakhir, menulis itu mengubah. Bila  poin pertama-kedua melulu tentang ego maka poin ketiga adalah tentang amal. Anda tidak tahu pada kalimat apa pembaca akan merasakan manfaat sebuah tema. Kadang tanpa kita sadari, tulisan yang kita anggap remeh justru mampu memukau dan menembus cakrawala jaman. Mempengaruhi dan membawa angin perubahan. Ada banyak kisah perubahan yang lahir dari sebuah tulisan, sebuah buku. Adam Smith dengan Wealth of Nation-nya,  Newton dengan Principia Mathematica, Karl Marx dengan Des Kapital, Ibn Sīnā dengan Canon Of Medicine, de es be. Kok kurang ngetop ya? Hehehe, ibarat MLM, ini sosok leader atau upline-nya para pemikir terkemuka sekarang. Kita hanya menggali jelajah intelektualitas mereka. Yakinlah, tak ada yang baru di atas muka bumi ini.

Bahkan secara sungguh-sungguh Rasulullah mengingatkan kita peninggalannya yang mampu menuntun hingga akhir jaman: Kitabullah dan Al hadits. Dan keduanya terjaga hingga kini karena ditulis dan tertulis.

Mungkin cukup sekian sharing cara memulai dan menjaga semangat menulis. Meski terlalu ringan, semoga renyah dibaca. Tak usahlah mengingat poin-poin di atas untuk meramu sebuah tulisan. Anda cukup menjadi diri anda, dengan segenap laku dan pengalaman hidup. Segera tuangkan lewat tombol laptop. Biarkan jemari anda mengembara menelisik seluruh bilik indrawi, hadirkan tulisan. Jangan diedit hingga titik terakhir. Setelah plong dan usai tetes terakhir, editlah. Maka, selesailah satu tulisan renyah dari pantulan jiwa dan ragawi anda.

Tulisan ini contohnya. :)

1 Please Share a Your Opinion.:

Terima kasih atas komentar anda.