6 Februari 2014

Maaf, Kesalahan Ada Pada TV (atau) Anda?

Awalnya, setelah menonton TV malam ini, ingin (pake sekali, jadi: ingin sekali) menulis tentang Indonesia Lawyer Club vs Indonesia Lawak Club. Tapi... setelah dipikir-pikir, apa sih pentingnya? Saya hanya terjebak mengutuk para pengutuk—tanpa saya sadari, diri saya bagian dari para pengutuk.

Ya, setelah bertahun-tahun menjadi acara “debat tanpa akhir” yang fenomenal, kini ILC mendapat tandingan seimbang lewat acara: Indonesia Lawak Club. Dan punggawa kocak Padhyangan, Denny Chandra, berhasil memungkasi dengan jenaka: “Menyelesaikan masalah tanpa solusi!” #Jleb. Saya tidak tahu, apakah ini menyindir acara serupa ataukah menjadi tagline acara sendiri.

Ah, sudahlah...


siaran bencana di tv indonesia

Awalnya ingin sekali mengangkat tentang musibah yang tiada henti menimpa negeri. Jakarta, diberi hujan kebanjiran. Pontianak, diberi panas kekeringan. Semua menjadi panik. TV menyiarkan kepanikan itu secara berulang. Dramatis, lengkap dengan headline dan theme song mencekam. Lengkap sudah penderitaan. Saya jadi berpikir, gimana kalo kita dikasih 4 musim? Stressnya 4 kali dalam setahun. Mungkin.


Ah, sudahlah...

Seorang pesimis melihat kesulitan dalam setiap kesempatan; Seorang optimis melihat kesempatan dalam setiap kesulitan.

Ingin, ingin, ingin sekali menulis tentang itu semua. Tapi ketika melihat anak saya mengigau tentang film Ultraman, Power Rangers, atau sosok perkasa lain yang ditontonnya melalui TV dan Youtube (sendirian, jarang saya dampingi). Saya merasakan hal serupa. Ternyata, asupan tontonan menjadikan hari-hari kita diwarnainya. Berapapun bilangan umurnya.


Dan percayakah anda—sadar atau tidak, tontonan TV itu, sedikit banyak, telah menghadirkan pesimisme, sinisme, apatisme kita. Belum berjama’ah memang, tapi terlihat membengkak. Siapa yang salah?


Dan, saya berharap pihak media TV segera tobat. Karena, saya pernah membaca bahwa, laksana rokok, ada seorang praktisi TV yang melarang anaknya menonton TV. Saya juga sangat berharap Komisi Penyiaran Indonesia ada meski di ambang ketiadaan—macan yang bisa menggigit meski tak bertaring. Biar tidak ada lagi, buruk muka, cermin dibelah. Karena kita tahu, cermin yang ada sudah menyempurna. Semoga.

- Mungkin link di bawah ini bisa sedikit membantu menyamakan frekuensi.
Peliputan Bencana di Indonesia dan Jepang dalam Kerangka Jurnalisme Bencana

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda.